Suatu Pertanyaan datang kembali setiap kali saya berdebat mengenai suatu masalah yang tiada berujung. Apakah esensi dari segala perdebatan? Satu kata! 'Kebenaran'. Kebenaran dari setiap otak yang berfikir, mulut yang berucap dan berakhir pada tindakan yang merubah!.Kebenaran dari setiap apa yang diyakini walau pada akhirnya ragu atas kebenaran itu sendiri.
Berfikir mengenai kebenaran, pendapat yang saya yakini benar adanya menurut saya hingga saat ini adalah bahwa kebenaran selalu dan akan tidak terlepas dengan kekuasaan. Secara sederhana diartikan bahwa siapa atau apa yang berkuasa, ia lah yang benar.
Penilaian kebenaran yang berkaitan dengan keyakinan atau agama di sini saya lihat sebagai produk olah pikir manusia bukan suatu yang dapat disamaratakan antara satu sama lain. Seperti secara sederhana bila kita berbicara masalah keyakinan antara saya dengan anda atau orang lain tentunya sudah berbeda dan bila pun dengan label yang sama kadangkala terjadi juga perbedaan pandangan dan presepsi itu sendiri terhadap keyakinan atau agama. Jadi saya mengambil kesimpulan dalam pandangan sosial bahwa keyakinan sebagai suatu produk sosial.
Dalam skala negara atau sosial, ketika berbicara suatu negara tentunya juga berbicara mengenai kekuasaan yang disalurkan melalui aspek legalitas yang bernama ’hukum’. Hukum sebagai atauran main dalam bermasyarakat memiliki kekuatan yang mengikat dengan segala konsekuensinya. Antara satu negara dengan negara lain, aturan dalam hukum pun berbeda-beda. Dan hukum merupakan suatu pembenaran atas kebenaran.
Sebagai contoh di Belanda khususnya Amsterdam, yang tentunya banyak yang mengetahui bahwa ada tempat-tempat yang mebenarkan adanya praktek usaha prostitusi dan penggunaan narkoba secara terbuka (contoh Red Light District), bahkan pemakai dan pengedar di daerah tersebut dilindungan secara hukum atas kebenaran yang mereka lakukan. Di sini terlihat kebenaran yang terjadi bersinggungan atau bersetubuh dengan kekuasaan pada skala negara. Kita (yang mungkin merasa beriman, ehm) tidak bisa mengatakan kondisi tersebut salah karena kita tidak berkuasa atas kondisi tersebut. Atau contoh lain pada negara lain adalah pembenaran atas perkawinan sesama jenis yang bagi sisi subyektifitas dengan latar keyakinan atas kepercayaan yang saya anut mengatakan itu tidak benar tapi kekuasan berkata lain.
Kita akan menemukan keterkaitan kebenaran dan kekuasaan pada setiap negara yang ada dengan penerapan kebenaran yang tentunya berbeda-beda. Yang sama adalah, hukum sebagai alat untuk menyatakan kebenaran tersebut. Dan harus diingat lagi bahwa hukum merupakan produk manusia. Dan tentunya dengan kekuasaan pula hukum itu dapat dibuat. (pesannya adalah: jangan mengkultuskan hukum suatu negara, karena toh ia adalah produk sosial yang dapat berubah)
Apabila berbicara demokrasi atau konsensus atau anything else yang dianggap ideal, ujung-ujungnya adalah suara terbanyak atau mayoritas atau paling kasar adalah dominasi. Pertanyaannya adalah; ”apakah kebenaran dalam artian tersebut dapat dijadikan patokan?, kenapa? Bayangin saja kalau suara mayoritas adalah kumpulan bajingan dan para pejahat..kemudian yang terjadi? Just think about it.
Berbicara pada skala negara, kesimpulannya adalah tidak ada negara yang bisa dijadikan contoh yang baik (precedent) atas nama kebenaraan yang tidak berkaitan dengan kekuasaan dan itu pasti!. Baik di negara maju sekalipun dilihat dari hukum yang mereka buat untuk rakyat mereka sendiri atau kebijakan terhadap negara lain (contohnya: the almighty super power country, mister uncle sam...[pah!]: ”in the name of democracy, human right and freedom of speak, shall we kill their people[including women and children], rape their motherland and insult their idelogy and belief.)
Sifat kebenaran hakiki itu imajiner apalagi kalo dilihat dari skala negara.....sangat naif kalo bisa melihat suatu negara yg bisa dijadikan precedent atas nama kebenaran hakiki or kebenaran universal or anything else!
Berbicara pada skala individu, kebenaran bagi saya tetap berkaitan dengan kekuasaan. Sebagai contoh kebenaran yang saya yakini belum tentu merupakan kebenaran yang orang lain yakini karena orang lain tidak berkuasa atas saya dan sebaliknya. Yang berkuasa atas individu adalah ”mind” atau mungkin bisa dikatakan dengan pikiran individu-individu yang mampu mengontrol material tubuh. Ketika ada hirarki kekuasan yang lebih tinggi atas diri kita tentunya mind kita akan mengakui kebenaran atas kekuasaan tersebut walaupun bisa dikatakan aspek jiwa kita bertolak belakang. Bila lebih dalam lagi dapat saya katakan bahwa jiwa dapat bebas atau tidak terikat oleh mind yang mengontrol material tubuh tapi tetap secara sosial yang menjadi tolak ukur adalah mind dan material tubuh kamu. Contohnya ketika kita di penjara tentunya tubuh dan diri kita secara sosial tetap berada pada penjara walaupun jiwa kamu pada sikap mental tertentu dapat merasa bebas.
Konteks keyakinan merupakan karakter individu. Setiap keyakinan individu berbeda-beda walaupun dia berada dalam satu kepercayaan atau agama. Kalau di agama saya takaran akan keimanan antar individu berbeda-beda. Keyakinan sendiri berasal dari kekuasaan pikiran yang mengontrol material tubuh, sehingga seberapa kekuasaan keyakinan tersebut akan pikiran kita seberapa besar pula kontrolnya terhadap tubuh kita.
Pembentukan keyakinan itu sendiri tidak lepas dari doktrinasi baik secara sadar maupun tidak sadar dari lingkungan kita dari mulai lahir sampai mati (ya mungkin bisa dibilang seperti kekerasan simboliknya si Bordeau...sosiolog Prancis).
Contoh mengenai kekuasan pikiran terhadap material tubuh adalah seperti yang banyak terjadi (mana datanya?) di Jepang ketika tingkat depresi yang tinggi (sementara ini bisa dikatakan begitu: apa yang dimaksud dengan depresi???) kecenderungan untuk bunuh diri tinggi. Pikiran mereka mengontrol dan berkuasa atas tubuh material sehingga mengambil keputusan untuk menghentikan kegiatan tubuh secara biologis. Atau misalnya orang yang disiksa untuk membenarkan keinginan penyiksanya pada titik tertentu orang tersebut mengakui kekuasaan penyiksanya untuk medapatkan pembenaran atas tubuh dan pikiran. Tetapi bisa juga bila berbicara keyakinan dengan keimanan tingkat tinggi segala bentuk penyiksaan yang terjadi sudah melepaskan hubungan antara tubuh dan pikiran rasionalnya sehingga pembenaran atas kekuasaan untuk suatu kebenaran sifatnya sudah tidak pada ranah dunia atau materi sosial. (kira-kira yang baca mengerti apa nggak ya? hehehehe)
Kesimpulannya adalah; ketika berbicara mengenai kebenaran itu merupakan hal yang sangat relatif dan tidak terlepas dari lingkungan sosial yang ada dan kekuasaan yang menaunginya. Kebenaran dan norma merupakan produk kontekstual manusia tergantung ruang dan waktu.
Suatu pertanyaan muncul; ”seberapa benarkah kebenaran yang kita miliki dalam kekuasan pikiran kita masing-masing yang mampu menemani selama hidup kita? Dan apakah kita akan terus mencari kebenaran itu sendiri? Ataukah mengikuti kebenaran yang ada?”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar